Situs Penipuan Korban Online

Situs Penipuan Korban Online

Berkedok hubungan asmara

Rendi diminta untuk mendekati orang-orang yang potensial mencari korbannya dengan membangun pertemanan.

Dia harus mencari tahu keseharian hingga pekerjaan korban, bahkan membangun hubungan asmara dengan calon korbannya.

Untuk meyakinkan para korban bahwa pelaku ini “nyata”, perusahaan pun bersedia memodali.

“Misalnya kalau dia minta sampai kirim bunga, kalau memang dia potensinya besar, itu akan dikirim. Bos enggak masalah. Apalagi kalau [korban] sudah investasi,” ujar Rendi.

Apabila target sebesar USD35.000 sudah tercapai, maka mereka pun akan memutuskan komunikasi dan menghilang dari korban.

Uang itu didapat dengan menjebak korban menyetorkan uang untuk investasi bodong, menjual tiket palsu pertandingan Piala Dunia Qatar, atau belanja online di platform e-commerce palsu tanpa pernah mengirimkan barangnya.

Korban dari Indonesia

Penipuan kerja dengan modus serupa juga menimpa sejumlah warga negara Indonesia, salah satunya Rendi - bukan nama sebenarnya.

Rendi pertama kali melihat lowongan pekerjaan sebagai customer service di Kamboja itu di Facebook, dengan iming-iming gaji sebesar USD1.200 (Rp17,8 juta) per bulan.

Sebagai orang dengan pengalaman bekerja di luar negeri, terutama di Timur Tengah, Rendi mencoba mencari tahu melalui Whatsapp.

Rendi sempat diwawancarai oleh penipu tersebut. Awalnya dia ragu, karena si penipu yang mulanya dia kira sebagai staf personalia di perusahaan itu, tidak memberikan kontrak kerja.

Namun si penipu meyakinkan bahwa kontrak kerja akan diberikan begitu Rendi tiba di perusahaan. Dia pun memutuskan untuk berangkat ke Kamboja.

“Yang membuat saya yakin mereka membuka lowongan kerja ini di… istilahnya beberapa agensi yang sebetulnya legal,” kata Rendi kepada wartawan BBC News Indonesia, Nicky Aulia Widadio.

Si penipu pun membelikan dan mengirimkan tiket keberangkatan kepada Rendi pada tanggal yang telah disepakati pada Mei lalu.

Begitu tiba di bandara, dia langsung dijemput oleh si penipu tersebut.

Dia kemudian dibawa ke perusahaan yang berlokasi di Sihanoukville.

Baru belakangan Rendi mengetahui bahwa orang yang dia kira sebagai staf personalia itu sebetulnya adalah agen penyalur yang mendapat komisi sebesar USD2.000 (Rp29,7 juta) untuk setiap orang yang mereka jebak.

Dalam ingatan Rendi, perusahaan itu terletak di area dengan banyak gedung seperti apartemen. Di setiap gedung terdapat ruangan-ruangan untuk kantor, juga flat.

Pada hari pertama bekerja, Rendi diminta membuat akun media sosial palsu menggunakan foto dari model-model yang juga dipekerjakan di perusahaan itu.

Dia kemudian diminta membuat pertemanan dengan calon-calon korbannya melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, hingga aplikasi kencan.

Targetnya adalah perempuan-perempuan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam.

Pada masa-masa awal itu, Rendi belum diberi target. Namun dari cerita orang-orang yang juga dipekerjakan di situ, dia mengetahui bahwa setiap tim yang terdiri dari enam hingga tujuh orang ditargetkan mendapatkan USD35.000 (Rp520 juta) per bulan.

Percakapan melalui pesan singkat

Tin: “Bisa kah Anda jelaskan informasi lebih lanjut soal lowongan pekerjaan ini?”

Penipu: “Ya, Anda akan bekerja penuh waktu di Kamboja dengan gaji 23 juta VND (Rp14,5 juta) per bulan. Perusahaan menyediakan tempat tinggal dan makanan. Kontraknya selama enam bulan dengan 15 hari libur.”

Tin: “Saya tidak memiliki keterampilan komputer seperti Microsoft Excel, tapi saya bisa mengetik dengan cepat.”

Penipu: “Jangan khawatir. Perusahaan akan melatih Anda. Anda akan bekerja selama sembilan jam per hari dan libur pada hari Minggu.”

Tin: “Tapi ada banyak peringatan untuk mewaspadai “pekerjaan mudah bergaji tinggi”. Saya akan pikirkan baik-baik dulu, setelah itu saya akan mengabari Anda.”

Penipu: “Perusahaan saya kredibel. Anda bisa berkunjung dulu ke sini, lalu memutuskan setelahnya. Besok ada kunjungan orang-orang Vietnam ke perusahaan. Apakah Anda mau bergabung dengan mereka? Kami bisa menjemput Anda di bandara Tan Son Nhat.”

Tin: “Oke, ini nomor telepon saya, tolong sampaikan ke sopir bahwa saya akan sampai di sana jam 10 pagi.”

Pada 22 Juni, seorang sopir menjemput saya di dekat Bandara Tan Son Nhat dan membawa saya ke Provinsi Long An untuk menjemput seseorang.

Saya bertanya kepada sopir, mengapa kami tidak mengarah ke perbatasan Moc Bai. Dia bilang, kami harus menghindari pemeriksaan keamanan.

Dia mengatakan bahwa dia akan membawa saya ke Kamboja dan menunggu di sana, lalu mengantar saya pulang. Kecurigaan saya pun hilang. Setelah itu, kami menuju perbatasan Binh Hiep.

Chi Tin dibawa ke perlintasan perbatasan di Binh Hiep.

Di perlintasan perbatasan, saya diminta menempuh jalur zig zag menggunakan ojek melewati persawahan untuk masuk ke wilayah Kamboja.

Begitu kami sampai, ada seorang sopir dan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun menunggu kami di dalam mobil putih berkapasitas tujuh penumpang dengan plat nomor Kamboja.

Mereka membawa kami ke sebuah perusahaan China di Kota Bavet, yang berdekatan dengan perlintasan perbatasan Moc Bai.

Perusahaan itu berlokasi di kawasan seluas 5.000 m² dengan banyak gedung. Setiap gedung dimiliki oleh dua hingga tiga perusahaan.

Gerbang utamanya berupa pintu dengan dua lapis besi. Pada jarak 50 meter, terdapat gerbang lainnya dengan pos keamanan terletak di sisi kanan.

Setelah menyusuri gedung, ada sebuah pintu menuju kantor dan satu pintu lainnya menuju ke flat.

Flat yang disediakan terlihat seperti asrama pelajar dengan ranjang-ranjang susun.

Terdapat sejumlah pekerja dan penjaga. Para penjaga rutin berpatroli dari gedung ke gedung.

Ada seorang perempuan Vietnam yang mengecek paspor dan sertifikat vaksin Covid kami.

Setelah itu, dia mengecek berapa banyak kata yang bisa kami ketik dalam semenit. Dia tidak menyodorkan kontrak kerja maupun mendiskusikan gaji seperti yang dijanjikan.

Perempuan itu kemudian menyuruh kami beristirahat dan memberi sabun mandi, krim, serta sikat gigi. Dia meminta saya untuk mulai bekerja esok harinya pada pukul 10 pagi.

“Saya datang ke sini untuk berkunjung dalam sehari, bukan untuk bekerja dan sopir akan mengantar saya pulang ke Vietnam,” kata Tin.

“Saya datang ke sini untuk berkunjung dalam sehari, bukan untuk bekerja dan sopir akan mengantar saya pulang ke Vietnam," kata Tin.

Perempuan itu menjawab, “Kamu dijebak oleh mereka dan saya sudah membeli kamu seharga US$2.400 (Rp35,5 juta)”

“Kamu dijebak oleh mereka dan saya sudah membeli kamu seharga US$2.400 (Rp35,5 juta)," jawab perempuan itu.

Esok harinya, saya harus bekerja selama 12 jam mulai pukul 10 pagi dengan waktu istirahat selama 30 menit pada jam 11 siang dan 5 sore.

Mereka memberi saya kartu SIM dari operator Vietnam seperti Viettel, Vina, dan Mobifone untuk membuat akun Zalo dengan foto laki-laki tampan dan perempuan cantik.

Saya diajarkan cara berbicara, berkonsultasi dan mengobrol. Saya harus menghubungi 15 orang setiap hari. Setidaknya lima dari mereka harus menyetorkan uang ke permainan judi, taruhan, dan lotere online sebesar 100 VND hingga 50 juta VND (Rp31,7 juta).

Saya juga harus bisa mengajak tiga sampai lima orang Vietnam untuk datang ke perusahaan kalau saya ingin pulang ke rumah.

Manajer meminta saya bekerja dengan patuh, tidak melawan, dan tidak melarikan diri. Kalau tidak, saya akan dibawa ke ruang penyiksaan untuk disetrum dan dipukuli. Kalau saya bekerja dengan baik, saya akan baik-baik saja.

Tetapi, banyak yang bercerita kalau saya tidak bisa memenuhi target, saya akan dibiarkan kelaparan dan dipukuli.

Tin: "Berapa banyak uang tebusan untuk membebaskan saya?"

Manajer: “US$2.600 (Rp38,5 juta)”

Manajer: “Kalau kamu bertahan dan tetap bekerja, tidak apa-apa, tapi sekarang kamu meminta keluar, perusahaan menilai kamu tidak mau bekerja, jadi dalam satu sampai dua hari kamu harus mentransfer uang ke perusahaan. Jika tidak, perusahaan akan menjualmu ke Sihanoukville atau Phnom Penh, bahkan menjualmu ke Thailand untuk menyelundupkan organ-orang tubuhmu.”

Mereka memberi saya sebuah kartu SIM, sehingga saya bisa mengabari keluarga saya untuk membayar tebusan.

Keluarga saya meminjam uang 88 juta VND (Rp55,5 juta) dari rentenir demi membebaskan saya.

Ketika uang tebusan sudah ditransfer, mereka memaksa saya menghapus semua data telepon.

Manajer meminta Tin menghapus seluruh bukti-bukti.

“Saya takut mereka hanya akan mengambil uang tebusan, lalu menjual saya ke perusahaan lain. Jantung saya berdebar dan saya khawatir.”

Saya bertanya kepada manajer dan dia meyakinkan saya, bahwa ini adalah perusahaan bereputasi, kata dia.

Pada 25 Juni, keluarga saya datang ke perbatasan Moc Bai dan menunggu saya di gerbang perusahaan.

Mereka pun membawa saya melewati empat lapis pemeriksaan keamanan untuk keluar dari gedung dan menemui keluarga saya.

Saya menangis begitu melihat ibu saya. Dia sudah tua dan tampak sangat khawatir. Saya bersyukur atas usaha ibu dan kakak laki-laki saya untuk menyelamatkan saya.

“Ibu dan kakakku tersayang, terima kasih karena tidak pernah menyerah denganku.”

Kami pulang ke Vietnam pada hari itu juga. Saya beruntung bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Tak digaji, disiksa, dan disetrum

Selama bekerja di perusahaan itu, Rendi mengatakan dia tidak pernah digaji.

Dengan dalih kinerjanya tidak memenuhi target, Rendi pun diopor-opor di antara tiga perusahaan tanpa digaji.

“Dibilang customer saya kurang lah, target dari customer itu kurang, tapi nyatanya setelah saya keluar pun mereka tetap pakai customer saya.”

“Teman-teman yang sudah punya target juga, dia dioper lagi, dijual lagi ke perusahaan lain. Hanya dimanfaatkan saja, dikuras saja,” tutur Rendi.

Selama di perusahaan itu, Rendi juga mengaku pernah mengalami kekerasan, namun dia belum bisa mengungkapkannya secara rinci.

“Saya masih trauma. Ada beberapa teman yang… meninggal juga [disiksa].”

Penyiksaan seperti disetrum dan diborgol, kata dia, menjadi hal yang umum dibicarakan antar para pekerja bila dianggap tidak bekerja dengan baik dan memenuhi target. Situasi itu pula yang mendorong Rendi mencari cara untuk keluar dari perusahaan itu.

Namun, apabila dia mengundurkan diri, Rendi harus membayar penalti sebesar USD11.000 (Rp163,5 juta) kepada perusahaan.

Rendi akhirnya mencari cara untuk kabur. Suatu hari, di tengah hujan, ketika dia berada di luar karena hendak dipindahkan ke perusahaan serupa lainnya, Rendi berhasil kabur.

Dia langsung mencari angkutan umum untuk pergi ke ibu kota Pnom Penh dan mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Pada 2 Agustus 2022, Rendi akhirnya berhasil pulang ke Indonesia.

Teks dan produksi oleh Bui Thu dan Aghnia Adzkia, disunting oleh Bruno Garcez dan Giang Nguyen, ilustrasi oleh Davies Surya, desain oleh Arvin Supriyadi, pengembangan oleh Ayu Widyaningsih Idjaja dan Scott Jarvis

TRIBUNNEWS.COM - Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo, Badrus Zaman SH MH, memberikan solusi bagi korban penipuan online.

Menurut sosok advokat senior ini, melapor merupakan hal penting bagi korban penipuan.

Laporan tersebut hbisa disampaikan ke kantor kepolisian terdekat atau pihak perbankan yang bersangkutan.

Sebab, bila terus menunda untuk melapor, maka semakin sulit kasus penipuan online dapat diungkap.

Lantas, setelah melaporkan penipuan online, apakah uang korban dapat kembali?

Baca: Tata Cara Melaporkan Penipuan Online ke Kantor Polisi, Penting untuk Siapkan Bukti Transfer

Badrus menjelaskan, dirinya memang belum pernah menangani kasus penipuan online yang uangnya kembali.

Namun, ada satu cara yang bisa jadi harapan para korban penipuan terkait kembalinya uang.

Yakni mendaftarkan nomor rekening pelaku penipuan dalam situs resmi milik Kementerian Komunikasi dan Informatika, cekrekening.id.

Menurut Badrus, situs tersebut merupakan cara preventif yang paling mudah bagi para korban.

"Kami belum pernah menangani perkara itu, (cekrekening.id) ini adalah awal informasi agar masyarakat tahu, bagaimana kita bisa kembalikan uang."

Baca: Total Kerugian 50 Korban Penipuan Berkedok Arisan Kurban di Cianjur Mencapai Rp 3,6 Miliar

"Itu yang paling mudah tidak harus lewat polisi dan proses hukum."

"Tapi ini hanya cara preventif yang paling cepat dilakukan supaya kasusnya tidak berkepanjangan," papar Badrus dalam tayangan Kacamata Hukum bersama Tribunnews, Senin (8/3/2020).

Bedanya dengan laporan kepada polisi, situs milik Kominfo ini bisa dilakukan dengan cepat tanpa menyertakan identitas secara formal.

Meski penipuan masuk ke dalam perkara biasa, namun korban diimbau untuk tetap melakukan pengaduan.

Penipuan judi online, yang telah terjadi di Kamboja setidaknya selama tujuh tahun terakhir, menargetkan orang-orang dari negara-negara Asia Tenggara yang membutuhkan pekerjaan. Para korban terpikat oleh iklan lowongan pekerjaan di media sosial dengan iming-iming gaji tinggi dan persyaratan yang mudah. Mereka kemudian dipaksa bekerja dengan mengajak orang-orang berinvestasi ke dalam perjudian di Kamboja, yang memiliki regulasi lemah terkait ini.

Apabila gagal memenuhi target, mereka dipukuli dan dibiarkan kelaparan di ruang penyiksaan. Beberapa korban bisa bebas setelah membayar uang tebusan, yang didapatkan keluarga mereka dengan cara meminjam ke kerabat hingga rentenir.

Mereka yang tidak mampu membayar tebusan memilih bunuh diri atau dibunuh. Organ-organ tubuh mereka lalu dijual ke negara lain.

Salah satu korban asal Vietnam, Chi Tin, kini menanggung utang senilai 88 juta VND atau sekitar Rp55,5 juta dengan bunga 20% per bulan dari rentenir. Korban lainnya seorang gadis berusia 15 tahun, An (bukan nama sebenarnya), asal provinsi Ben Tre, Vietnam, dibebaskan dengan tebusan USD3.640 (Rp53,7 juta) setelah disiksa dan dijual ke tiga perusahaan.

Penipuan serupa di Kota Bavet, yang dikenal sebagai ibu kota perjudian di Kamboja, juga menjebak dan mempekerjakan 600 warga negara Vietnam serta negara-negara lainnya, termasuk 62 warga negara Indonesia dan 66 warga negara Thailand, yang baru-baru ini berhasil diselamatkan.

Ini adalah kisah Tin. Dia menceritakan kejengkelannya, yang berawal dari obrolan singkat di aplikasi pengiriman pesan Zalo, setelah dia melihat iklan lowongan pekerjaan di Facebook.

Pada 22 Juni, seorang sopir menjemput saya di dekat Bandara Tan Son Nhat dan membawa saya ke Provinsi Long An untuk menjemput seseorang.

Saya bertanya kepada sopir, mengapa kami tidak mengarah ke perbatasan Moc Bai. Dia bilang, kami harus menghindari pemeriksaan keamanan.

Dia mengatakan bahwa dia akan membawa saya ke Kamboja dan menunggu di sana, lalu mengantar saya pulang. Kecurigaan saya pun hilang. Setelah itu, kami menuju perbatasan Binh Hiep.

Di perlintasan perbatasan, saya diminta menempuh jalur zig zag menggunakan ojek melewati persawahan untuk masuk ke wilayah Kamboja.

Begitu kami sampai, ada seorang sopir dan seorang anak laki-laki berusia 17 tahun menunggu kami di dalam mobil putih berkapasitas tujuh penumpang dengan plat nomor Kamboja.

Mereka membawa kami ke sebuah perusahaan China di Kota Bavet, yang berdekatan dengan perlintasan perbatasan Moc Bai.

Perusahaan itu berlokasi di kawasan seluas 5.000 m² dengan banyak gedung. Setiap gedung dimiliki oleh dua hingga tiga perusahaan.

Gerbang utamanya berupa pintu dengan dua lapis besi. Pada jarak 50 meter, terdapat gerbang lainnya dengan pos keamanan terletak di sisi kanan.

Setelah menyusuri gedung, ada sebuah pintu menuju kantor dan satu pintu lainnya menuju ke flat.

Flat yang disediakan terlihat seperti asrama pelajar dengan ranjang-ranjang susun.

Terdapat sejumlah pekerja dan penjaga. Para penjaga rutin berpatroli dari gedung ke gedung.

Ada seorang perempuan Vietnam yang mengecek paspor dan sertifikat vaksin Covid kami.

Setelah itu, dia mengecek berapa banyak kata yang bisa kami ketik dalam semenit. Dia tidak menyodorkan kontrak kerja maupun mendiskusikan gaji seperti yang dijanjikan.

Perempuan itu kemudian menyuruh kami beristirahat dan memberi sabun mandi, krim, serta sikat gigi. Dia meminta saya untuk mulai bekerja esok harinya pada pukul 10 pagi.

Esok harinya, saya harus bekerja selama 12 jam mulai pukul 10 pagi dengan waktu istirahat selama 30 menit pada jam 11 siang dan 5 sore.

Mereka memberi saya kartu SIM dari operator Vietnam seperti Viettel, Vina, dan Mobifone untuk membuat akun Zalo dengan foto laki-laki tampan dan perempuan cantik.

Saya diajarkan cara berbicara, berkonsultasi dan mengobrol. Saya harus menghubungi 15 orang setiap hari. Setidaknya lima dari mereka harus menyetorkan uang ke permainan judi, taruhan, dan lotere online sebesar 100 VND hingga 50 juta VND (Rp31,7 juta).

Saya juga harus bisa mengajak tiga sampai lima orang Vietnam untuk datang ke perusahaan kalau saya ingin pulang ke rumah.

Manajer meminta saya patuh bekerja, tidak melawan, dan tidak melarikan diri. Kalau tidak, saya akan dibawa ke ruang penyiksaan untuk disetrum dan dipukuli. Kalau saya bekerja dengan baik, saya akan baik-baik saja.

Bagaimana pun, banyak yang bercerita kalau saya tidak bisa memenuhi target, saya akan dibiarkan kelaparan dan dipukuli.

Tin: "Berapa banyak uang tebusan untuk membebaskan saya?"

Manajer: “US$2.600 (Rp38,5 juta)”

Mereka memberi saya sebuah kartu SIM, sehingga saya bisa mengabari keluarga saya untuk membayar tebusan.

Keluarga saya meminjam uang 88 juta VND (Rp55,5 juta) dari rentenir demi membebaskan saya. Ketika uang tebusan sudah ditransfer, mereka memaksa saya menghapus semua data telepon.

“Saya takut mereka hanya akan mengambil uang tebusan, lalu menjual saya ke perusahaan lain. Jantung saya berdebar dan saya khawatir.”

Saya bertanya kepada manajer dan dia meyakinkan saya, bahwa ini adalah perusahaan bereputasi, kata dia.

Pada 25 Juni, keluarga saya datang ke perbatasan Moc Bai dan menunggu saya di gerbang perusahaan.

Mereka pun membawa saya melewati empat lapis pemeriksaan keamanan untuk keluar dari gedung dan menemui keluarga saya.

Saya menangis begitu melihat ibu saya. Dia sudah tua dan tampak sangat khawatir. Saya bersyukur atas usaha ibu dan kakak laki-laki saya untuk menyelamatkan saya.

“Ibu dan kakakku tersayang, terima kasih karena tidak pernah menyerah denganku.”

Kami pulang ke Vietnam pada hari itu juga. Saya beruntung bisa kembali ke rumah dengan selamat.

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Korban arisan online milik Sherly Wahyuni di Batam mencapai 400 orang dengan kerugian miliaran rupiah.

Kerugian anggota arisan nilainya bervariasi, bisa puluhan juta sampai ratusan juta.

Meski begitu, tentu tidak semua member itu melapor atau menjadi korban karena ada juga yang sudah mendapat untung, bahkan kabur setelah modalnya kembali plus untungnya.

Mereka yang kabur itu umumnya pendaftar awal yang tentunya mendapat giliran awal juga layaknya arisan.

Seorang korban, sebut saja Sri, mengungkapkan jika uang arisan disetor langsung kepada Sherly via ATM.

Cara mendaftarnya mudah.

Bisa lewat Instagram atau WhatsApp.

Dalam satu putaran atau kloter arisan, jumlah pesertanya macam-macam, bisa 10, 15 atau 20 member.

Kalau slot masih ada, bisa bergabung. Kalau slot habis, harus menunggu slot berikutnya.

Baca juga: PENEMUAN MAYAT DI BATAM - Masih Berlabel Mrs X, Wanita yang Tewas di Sekupang Kerap Tidur di Halte

Baca juga: KABAR GEMBIRA! Imigrasi Batam Tambah Kuota Pengurusan Paspor, Sehari Kini 320 Permohonan

"Kalau satu slot jumlah member belum cukup, arisan belum bisa dimulai," beber Sri kepada Tribun, Jumat (24/6/2022) lalu.

Sri sendiri tergiur ikut arisan ini karena beberapa temannya yang sudah “get” bisa membeli kendaraan dan mencicil rumah.

Ia pun kemudian bertanya kepada admin melalui Instagram.

Sistem arisannya hampir sama dengan arisan pada umumnya, yakni bergilir.

Bedanya, mekanisme pembayarannya memakai sistem menurun.

“No More Bets” mengangkat cerita tentang kejahatan dunia nyata, sindikat penipuan online yang menjerat korbannya di negara asing. Dibintangi aktor seperti Zhang Yixing dan Li Qin, film ini tak hanya menyuguhkan thriller kriminal yang menegangkan, tapi juga sorotan tajam terhadap bahaya judi online.

Cerita berfokus pada Pan Sheng, programmer yang tergiur tawaran kerja menjanjikan di luar negeri. Begitu pula Anna Liang, seorang model yang diiming-imingi bayaran tinggi. Namun, setibanya di sana, mereka berdua justru terperangkap. Keduanya menyadari bahwa mereka berada di markas penipuan, dikekang untuk menjalankan aksi kejahatan online, yaitu skema perjudian online.

Film ini piawai membangun ketegangan. Penonton diajak melihat realita kelam dunia “fraud factory” dimana para korban dipaksa menjadi pelaku kejahatan. Tak hanya Pan Sheng dan Anna, sorotan juga diberikan pada berbagai pihak yang terlibat, mulai dari bos sindikat yang kejam hingga korban penipuan online.

“No More Bets” menghadirkan empat sudut pandang yang membahas perusahaan yang kerap menipu pelangannya melalui skema judi online. Kisah mereka diadaptasi dari banyak kasus di dunia nyata tentang praktik penipuan online dan perdagangan buruh.

“No More Bets” tak hanya menyajikan hiburan sinematik, tetapi juga kritik sosial yang relevan. Film ini terinspirasi dari kasus nyata kejahatan serupa di Asia Tenggara. Dengan gambaran yang realistis, penonton diajak untuk waspada terhadap bahaya iming-iming pekerjaan di luar negeri serta jeratan judi online.

Performa para aktor patut diacungi jempol. Zhang Yixing berhasil memerankan karakter Pan Sheng dengan baik, menampilkan perjuangan dan keputusasaan para korban yang terjebak. Sementara itu, Li Qin sebagai Anna Liang juga tak kalah mencuri perhatian.

Sutradara Ao Shen berhasil menjaga ritme cerita dengan baik. Tak ada adegan yang bertele-tele, semuanya terasa penting untuk mengulik dunia kelam perjudian online. Meski mengangkat tema yang berat, film ini tetap disuguhkan secara thrilling dan menarik untuk diikuti.

Film ini bisa memaksimalkan kesan tragis dari hancurnya hidup Tian. Fakta lain yang akan membuat miris penonton terungkap. Sasaran skema penipuan online tidak hanya masyarakat miskin atau yang kurang berpendidikan saja, tetapi juga kaum berada dan berpendidikan tinggi seperti Tian.

“No More Bets” adalah film wajib tonton yang menyukai genre thriller kriminal. Lebih dari sekadar hiburan, film ini menyadarkan penonton akan bahayanya penipuan online, perjudian, slot, dan sejenisnya. Dengan premis cerita yang relevan dan eksekusi yang apik, “No More Bets” menjanjikan pengalaman menonton yang menegangkan dan penuh pesan.

Jakarta, Gempita.co – Para korban penipuan investasi bodong berkedok Robot Trading Fin888 mengungkapkan kekecewaannya atas vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang menghukum terdakwa Peterfi Sufandri dan Carry Chandra selama dua tahun penjara.

Kekecewaan para korban terlihat saat Majelis Hakim pimpinan Yuli Effendi membacakan amar putusan terhadap kedua terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (5/12/2023).

“Kok cuma dua tahun?, denda hanya Rp 500 juta, kok bisa segitu turun dari tuntutan jaksa yang juga rendah, di mana keadilan?. Pengadilan ini kayaknya bukan untuk korban tindak kejahatan tetapi diperuntukan bagi penjahatnya,” kata salah seorang korban di ruang sidang.

Korban lainnya juga mempertanyakan hal yang sama. Mereka tak henti-hentinya bersahut-sahutan sembari berteriak yang intinya tak menerima vonis terhadap kedua orang terdakwa. Bahkan, mereka menduga Hakim diduga berpihak terhadap kedua terdakwa.

Para korban Fin888 juga membandingkan vonis hakim terhadap terdakwa lainnya dalam kasus serupa di pengadilan berbeda yang menghukum tinggi pelakunya.

Korban mencontohkan kasus penipuan investasi bodong berkedok robot trading Fahrenheit. Terdakwa penipuan ini divonis selama sepuluh tahun penjara dan denda sebesar Rp3 miliar subsider hukuman enam bulan.

“Ini kok beda, tuntutannya sudah rendah hanya tiga tahun, sekarang vonis hanya dua tahun. Maling ayam saja divonis dua tahun, ini telah merugikan Rp1 triliun kok dihukum hanya dua tahun, mana mungkin mereka jera?,” ungkap korban bernama Lina heran, usai sidang.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan kedua terdakwa terbukti melanggar UU ITE dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sementara Peterfi Sufandri, ditambah dua bulan dengan denda Rp500 juta subsider tiga bulan penjara.

“Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar UU ITE serta UU tentang TPPU,” kata Yuli Effendi saat membacakan amar putusan.

Atas vonis tersebut, kedua terdakwa dan tim penasihat hukum menyatakan pikir-pikir dahulu sebelum tentukan sikap selanjutnya.

Begitu juga dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Melda Siagian yang juga menyatakan masih membutuhkan waktu untuk menentukan sikp atas vonis Majelis Hakim.

“Kami pikir-pikir dahulu Yang Mulia,” ucap Melda Siagian.

Sebelumnya, JPU Melda Siagian menuntut terdakwa Peterfi Sufandri selama tiga tahun penjara plus membayar denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Sementara Carry Chandra dituntut tiga tahun penjara.

Atas tuntutan yang dinilai rendah, para korban melalui penasihat hukum Oktavianus Setiawan menjelang vonis telah menyurati Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dengan tembusan Ketua PN Jakarta Utara untuk memohon perlindungan hukum.(tim)

Saya menjadi korban penipuan yang mengatasnamakan BCA Life, apa yang harus saya lakukan?

Apabila Anda mendapat penawaran asuransi jiwa yang mengatasnamakan PT Asuransi Jiwa BCA (BCA Life) dan merasa perlu untuk melakukan pengecekan kebenaran tawaran tersebut,

silahkan hubungi Halo BCA di nomor 1500888 atau email kami di [email protected]. Kami akan segera menindaklanjuti laporan yang kami terima.

Yudha Wahyu Palupi Bagus Tejowono (36), pekerja migran asal Desa Gelam, Candi, Sidoarjo jadi korban penipuan kerja di Kamboja. Ia dipaksa menjadi admin judi online. Istri Yudha berharap KBRI membantu memulangkan suaminya.

Video Yudha yang meminta tolong untuk dipulangkan viral di media sosial. Dalam video tersebut ia mengaku jadi korban penipuan pekerjaan bersama sejumlah tenaga kerja migran lainnya.

Heny Novita Wulandari (32), istri Yudha, mengatakan dirinya mengharapkan pihak KBRI di Phnom Penh Kamboja atau instasi lain seperti Imigrasi, serta BP2MI untuk segera membantu proses kepulangan suaminya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Suami saya ini pergi ke Kamboja sejak bulan Juli 2024. Hingga saat ini belum ada kejelasan kapan pulang, kasihan kedua anaknya karena setiap hari selalu menanyakan keberadaan ayahnya," kata Heny saat ditemui detikJatim di rumahnya, Minggu (22/9/2024).

Heny menjelaskan kepergian suaminya berawal setelah suaminya berhenti bekerja di salah satu pabrik di Krian Sidoarjo. Kemudian dia mendapatkan tawaran bekerja menjadi office boy di salah satu hotel di Kamboja.

"Penawaran pekerjaan tersebut melalui facebook bukan melalui salah satu agen PMI. Sementara paspor yang mengurus juga dari facebook tersebut, dengan gaji tiap bulan sebesar Rp 16 juta," jelas Heny.

Tiba di Phnom Penh, Yudha dijemput oleh beberapa orang, kemudian dibawa ke salah satu apartemen. Handphone dan paspor nya dirampas. Namun di apartemen tersebut Yudha tidak dipekerjakan di hotel melainkan disuruh menjadi admin judi online.

"Bahkan selama bekerja mulai bulan Juli dan Agustus tidak dibayar, yang dijanjikan akan di bayar Rp 16 juta per bulan itu tidak diwujudkan," kata Heny.

Saat ini Yudha masih di tinggal sementara di Kantor Imigrasi Phnom Penh. Menurut Heny, suaminya di sana sudah tidak memiliki bekal apapun, sementara untuk kebutuhan sehari-hari membeli sendiri. Hampir setiap hari dirinya masih bisa komunikasi dengan suaminya.

"Setiap hari saya terus intens komunikasi dengan mas Yudha, tapi ketika ditanya kapan pulang belum ada kejelasan. Sementara itu kedua anaknya terus menanyakan kapan ayahnya pulang bisa berkumpul kembali," imbuh Heny.

Sunariya (62), mertua Yudha membenarkan bahwa video yang beredar merupakan menantunya. Ia berangkat kerja ke Kamboja setelah keluar dari pabrik plastik di Krian, Sidoarjo.

"Saya kasihan terhadap kedua anaknya itu, ketika mereka menangis menanyakan ayahnya, saya juga ikut menangis. Kami berharap pemerintah, khususnya pihak yang menangani persoalan seperti menantu saya untuk segera membantu proses kepulangannya," kata Sunariya.

Suara.com - Penipuan judi online dan investasi bodong yang telah terjadi di Kamboja setidaknya selama tujuh tahun terakhir menargetkan orang-orang dari negara-negara Asia Tenggara -termasuk warga negara Indonesia- yang membutuhkan pekerjaan.

Para korban terpikat oleh iklan lowongan pekerjaan di media sosial dengan iming-iming gaji tinggi dan persyaratan yang mudah. Mereka kemudian dipaksa bekerja dengan mengajak orang-orang berinvestasi ke dalam perjudian di Kamboja, yang memiliki regulasi lemah terkait ini.

Apabila gagal memenuhi target, mereka dipukuli dan dibiarkan kelaparan di ruang penyiksaan. Beberapa korban bisa bebas setelah membayar uang tebusan, yang didapatkan keluarga mereka dengan cara meminjam ke kerabat hingga rentenir.

Mereka yang tidak mampu membayar tebusan memilih bunuh diri atau dibunuh. Organ-organ tubuh mereka lalu dijual ke negara lain.

Baca Juga: Isu Jaringan Judi Online Ferdi Sambo, Ananta Rispo Bongkar 2 Bandar

Salah satu korban asal Vietnam, Chi Tin, kini menanggung utang senilai 88 juta VND atau sekitar Rp55,5 juta dengan bunga 20% per bulan dari rentenir.

Korban lainnya seorang gadis berusia 15 tahun, An (bukan nama sebenarnya), asal provinsi Ben Tre, Vietnam, dibebaskan dengan tebusan USD3.640 (Rp53,7 juta) setelah disiksa dan dijual ke tiga perusahaan.

Penipuan serupa di Kota Bavet, yang dikenal sebagai ibu kota perjudian di Kamboja, juga menjebak dan mempekerjakan 400 warga negara Vietnam serta negara-negara lainnya, termasuk 62 warga negara Indonesia dan 66 warga negara Thailand, yang baru-baru ini berhasil diselamatkan.

Ini adalah kisah Tin. Dia menceritakan kejengkelannya, yang berawal dari obrolan singkat di aplikasi pengiriman pesan Zalo, setelah dia melihat iklan lowongan pekerjaan di Facebook.

Baca Juga: Ada Dugaan Oknum Polisi Terima Aliran Duit Judi Online, PPATK Bilang Begini

Lowongan pekerjaan itu mensyaratkan keterampilan mengetik dengan upah sekitar US$900 atau Rp13,2 juta per bulan.

Anda mungkin ingin melihat