Selalu taat dan takut kepada Allah
Malaikat adalah makhluk yang selalu taat kepada Allah SWT. Malaikat juga termasuk makhluk yang takut kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an surat At Tahrim ayat 6 dijelaskan,
لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya: "... yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Allah SWT juga berfirman,
وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ ٤٩ يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ࣖ ۩ ٥٠
Artinya: "Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa). Para malaikat (juga bersujud) dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (berkuasa) di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)." (QS An Nahl: 49-50)
Malaikat adalah makhluk yang teratur dalam beribadah. Hal ini dikabarkan Rasulullah SAW kepada umatnya agar meniru sifat malaikat tersebut. Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah kalian berbaris sebagaimana barisan para malaikat di sisi Tuhan mereka? Para sahabat menjawab, 'Bagaimana para malaikat berbaris di sisi Tuhan?' Rasulullah bersabda, "Mereka sempurnakan barisan pertama kemudian baris selanjutnya dan mereka rapatkan barisan." (HR Jamaah, kecuali Imam Bukhari)
Malaikat juga berdiri di hadapan Allah SWT dengan berbaris, sebagaimana Dia berfirman,
يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ صَفًّاۙ لَّا يَتَكَلَّمُوْنَ اِلَّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَقَالَ صَوَابًا ٣٨
Artinya: "Pada hari ketika Rūḥ dan malaikat berdiri bersaf-saf. Mereka tidak berbicara, kecuali yang diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia mengatakan yang benar." (QS An Naba: 38)
Itulah beberapa sifat malaikat, makhluk ciptaan Allah SWT yang masing-masing menjalani tugas. Sebagai umat muslim, kita diwajibkan mengimani dan percaya adanya malaikat.
Tidak memiliki hawa nafsu
Sifat malaikat yang membedakannya dengan manusia adalah tidak memiliki hawa nafsu. Malaikat tidak memiliki keinginan yang bersifat fisik dan kebutuhan yang bersifat materiil. Mereka tidak menikah atau beranak, tidak makan, minum, dan tidur seperti manusia.
Merupakan utusan Allah
Mengutip buku Mengundang Malaikat ke Rumah karya Mahmud asy-Syafrowi dijelaskan bahwa malaikat merupakan utusan Allah SWT. Allah SWT berfirman,
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ جَاعِلِ الْمَلٰۤىِٕكَةِ رُسُلًاۙ اُولِيْٓ اَجْنِحَةٍ مَّثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۗ يَزِيْدُ فِى الْخَلْقِ مَا يَشَاۤءُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ١
Artinya: "Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap. Masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Dia menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS Fatir: 1)
Malaikat memiliki banyak keutamaan, salah satunya yakni dapat bergerak secepat kilat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat An Naziyat ayat 3-4,
وَّالسّٰبِحٰتِ سَبْحًاۙ ٣ فَالسّٰبِقٰتِ سَبْقًاۙ ٤
Artinya: "demi (malaikat) yang cepat (menunaikan tugasnya) dengan mudah, (malaikat) yang bergegas (melaksanakan perintah Allah) dengan cepat."
Kemudian, sifat malaikat ini juga dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya surat Al Mursalat ayat 1-2,
وَالْمُرْسَلٰتِ عُرْفًاۙ ١ فَالْعٰصِفٰتِ عَصْفًاۙ ٢
Artinya: "Demi (malaikat-malaikat) yang diutus untuk membawa kebaikan dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencang."
Tidak memiliki jenis kelamin
Malaikat adalah makhluk yang terbuat dari cahaya dan mustahil memiliki jenis kelamin. Menurut Mahmud asy-Syafrowi, pendapat tersebut karena jenis kelamin hanya disematkan dan berlaku untuk sesuatu yang bersifat material, sementara malaikat bersifat ruhani.
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah”
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di akhirat.
Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
“Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.”[1]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: “Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).”[2]
Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[3]
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: ‘Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.’[4] Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: ‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[5]
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah menjauhinya.’[6] Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”[7] Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
“Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.”[8] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.”[9]
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
“Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”[10]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ…
“Jadikanlah dinding (tirai) yang halal di antara kamu dan yang haram …”[11]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.”[12]
Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara’) dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[13]
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
“Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”[14]
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[15] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab radhiyallahu ‘anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dengan sifat wara’[16]
Sebagaimana orang yang wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
“…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, …”[17]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’[18]
Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”[19]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara’:
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
“Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’“[20]
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara’ dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an.
Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.
[Disalin dari صفة الورع Penulis Mahmud Muhammad al-Khazandar, Penerjemah : Team Indonesia. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2008 – 1429] ______ Footnote [1] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107. [2] Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329 [3] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290. [4] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39. [5] Fath al-Bari 1/127 [6] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu’ [7] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman [8] Shahih al-Jami’ no. 2881 (Shahih). [9] Shahih al-Jami’ no. 5564 (Shahih) [10] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan. [11] Shahih al-Jami’ no. 152 (Shahih). [12] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292. [13] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290. [14] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan). [15] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman. [16] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141. [17] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52. [18] Fath al-Bari 1/127. [19] Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih). [20] Shahih al-Jami’ no. 3308.
REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Wara berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat (perkara samar). Jumhur ulama seringkali mengartikan wara ini dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, dan meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan sikap wara secara jelas dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, bahwa wara adalah, “Sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya, yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada manfaat yang lebih besar dari mengerjakannya.“ (Majmu’ Fatawa, 10/511).
Terdapat banyak orang yang tidak mengetahui tentang perkara syubhat tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penggalan sabda Rasulullah Saw. “Perkara halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Di antara keduanya (halal dan haram) ada perkara syubhat yang banyak orang tidak mengetahuinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah melanjutkan dalam sabdanya, bahwa siapa yang menjauhi perkara syubhat ini maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
“Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya,” lanjut sabda tersebut.
Selain itu, Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan nasihat berharga pada Abu Hurairah terkait sikap wara, dalam sebuah penggalan hadis shahih dijelaskan, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah” (HR Ibnu Majah).
Ibnu Rajab menjelaskan pengertian wara lebih sederhana dalam bentuk saran terhadap setiap Muslim. Ia mengemukakan sebuah hadis, “Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu” (HR An Nasai dan Tirmidzi).
Untuk meninggalkan dosa tentu tidak mudah, sehingga kita membutuhkan kesungguhan niat. Para tabiin saja membutuhkan waktu selama 40 hari dalam meninggalkan dosa. Hal ini disampaikan Ibnu Rajab sebagaima yang dikatakan sebagian tabiin, “Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat wara” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Sementara, Imam Nawawi rahimahullah menyampaikan suatu cara dalam menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum, baik halal ataukah haram. Imam Nawawi berkata:
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma, lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal. Namun, jika ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut."
Penjelasan Imam Nawawi tersebut sangat menggambarkan sikap kehati-hatian dalam hukum Islam. Kehati-hatian merupakan tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara. Karena itu, setiap Muslim harus selalu berhati-hat dari sesuatu yang haram, dan pernah berani untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap wara adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dan menghilangkan semua keburukan dalam diri kita. Seseorang tidak dikatakan memiliki sikap wara sampai menjauhi perkara yang masih samar hukumnya lantaran takut terjerumus dalam keharaman.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan bahwa Abu Bakar juga pernah memuntahkan makanan yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut dilakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah.
Sikap wara seperti yang dilakukan Abu Bakar tersebut dapat menjadi contoh bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita dapat memiliki hati yang bersih, dan bertemu dengan Tuhan dalam keadaan yang bersih pula.
sumber : Dok Republika
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Suara.com - Malaikat salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang selalu taat. Meyakini keberadaan Malaikat itu wajib, bahkan masuk dalam rukun iman urutan kedua. Berikut ini sifat-sifat malaikat yang perlu diketahui.
Diketahui, malaikat merupakan makhluk yang bersifat gaib dan selalu tunduk kepada Allah SWT. Itulah mengapa para malaikat ini maksum (terhindar dari dosa). Lalu apa sifat-sifat malaikat lainnya?
Sebagai umat muslim, penting untuk mengetahui sifat-sifat malaikat. Adapun sifat-sifat dari Malaikat yang dilansir dari berbagai sumber yaitu sebagai berikut.
Baca Juga: Ketahui 6 Ciri-ciri Golongan Orang Beriman Pada Sifat Jaiz Allah SWT
Salah satu sifat yang dimiliki malaikat yaitu tidak sombong. Berbeda halnya dengan manusia dan jin yang seringkali sombong dan ujub. Hal tersebut tercantum juga dalam QS An-Nahl ayat 49 yang bunyinya sebagai berikut:
Artinya: "Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri."
2. Diciptakan dari nur
Jin dan iblis diciptakan dari api serta manusia diciptakan dari tanah. Sedangkan Malaikat diciptakan dari nur (cahaya) oleh Allah SWT dari cahaya. Hal itulah yang membedakan Malaikat dari Iblis, jin, dan manusia.
3. Tunduk terhadap Allah SWT
Baca Juga: Surah Asy Syam, Pilihan Manusia untuk Mengikuti Jalan Lurus atau Tersesat
Sifat malaikat berikutnya yang berbeda dari manusia, iblis maupun jin yaitu malaikat selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Seperti yang diketahui, manusia juga tentunya bersifat patuh, namun terkadang juga ingkar.
4. Tidak makan dan minum
Malaikat tidak mempunyai nafsu, itulah mengapa malaikat tidak memerlukam makanan maupun minuman. Meski tidak makan dan minum, malaikat tetap akan hidup atas kehendak Allah. Tidak seperti manusia, yang mana butuh makan dan minum untuk tetap hidup.
5. Tidak berjenis kelamin
Sifat Malaikat berikutnya yang membedakannya dari manusia yaitu malaikat tidak berjenis kelamin. Seperti yang diketahui, manusia terbagi menjadi dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.
6. Tidak pernah letih beribadah
Malaikat diciptakan Allah SWT untuk selalu taat dan patuh padaNya. Jika Allah SWT memerintahkan untuk bertasbih, maka malaikat pun akan langsung bertasbih. Jika Allah SWT memerintahkan malaikat untuk bersujud, maka malaikat akan bersujud.
7. Mampu Berubah Wujud
Malaikat juga memiliki sifat mampu berubah bentuk atau wujud.Ada kalanya berubah seperti manusia manusia atau bahkan kuda. Hal tersebut tercantum juga dalam QS. Surat Maryam: 17 yang bunyinya sebagai berikut:
"Maka ia mengadakan tabir (yang malindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna."
Demikian informasi mengenai sifat-sifat malaikat yang penting untuk diketahui umat muslim. Semoga bermanfaat.
Kontributor : Ulil Azmi
Malaikat adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan untuk mengemban tugas khusus. Malaikat termasuk makhluk yang mulia, Allah SWT menciptakan malaikat dari cahaya.
Abu Hudzaifah Ibrahim dan Muhammad ash-Shayim dalam bukunya yang berjudul Mengapa Malaikat dan Setan di Rumah Kita? Menjelaskan tentang penciptaan malaikat dari cahaya, sebagaimana hadits Rasulullah SAW,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ ». (رواه مسلم)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya: "Malaikat itu diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian." (HR Muslim)
Malaikat diciptakan dengan kondisi yang suci dari syahwat dan kecenderungan nafsu. Mereka tidak makan dan minum, tidak menikah, dan tidak pula memiliki anak.
Malaikat juga diciptakan dengan jenis kelamin bukan laki-laki maupun perempuan. Malaikat diciptakan Allah dengan bentuk tubuh yang besar dan kuat.
Malaikat juga diciptakan memiliki sayap yang berbeda-beda jumlahnya. Parasnya elok dan rupawan, kebalikan dari penciptaan setan.
Mengutip Buku Pintar Alam Gaib oleh Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar dijelaskan bahwa Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al-Qur'an telah menjelaskan beberapa sifat malaikat.
Berikut ini beberapa contoh sifat malaikat yang disebutkan dalam Al-Quran:
Malaikat adalah makhluk yang mulia. Allah SWT berfirman,
بِاَيْدِيْ سَفَرَةٍۙ ١٥ كِرَامٍۢ بَرَرَةٍۗ ١٦
Artinya: "di tangan para utusan (malaikat) yang mulia lagi berbudi." (QS Abasa: 15-16)
Kemuliaan malaikat juga disebutkan dalam surah Al Anbiya ayat 26. Allah SWT berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا سُبْحٰنَهٗ ۗبَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُوْنَ ۙ ٢٦
Artinya: "Mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak." Mahasuci Dia. Sebaliknya, mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan."